Minggu, 24 Februari 2013

Macam-Macam Air Yang Boleh Untuk Bersuci (Thaharah)


Telah sama-sama kita ketahui bahwa fardhu dalam berwudhu ada 6 macam, yaitu : niat, membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku, mengusap bagian dari kepala, membasuh kedua kaki sampai mata kaki, tertib (berurutan dari awal sampai akhir). Kemudian dalam kajian fiqih kali ini, kita akan membahas tentang Macam-Macam Air Yang Boleh Untuk Bersuci (Thaharah), selengkapnya.

Macam-Macam Air Yang Boleh Untuk Thaharah (Bersuci) :

1. Air sedikit (Qolil), yaitu air yang kurang dari 2 qulah. Air sedikit akan menjadi mutanajis apabila terkena najis, walaupun warna, rasa dan baunya tidak berubah
2. Air banyak (Katsir), yaitu air yang banyaknya 2 qulah atau lebih. Air banyak tidak menjadi mutanajis walau terkena najis, kecuali berubah warna, rasa dan baunya

Yang dimaksud air dua kulah yaitu air yang jumlahnya jika dihitung dengan satuan liter :
Menurut Imam Al-Nawawi, 2 kulah itu sama dengan 174,580 liter. Ukuran baknya panjang 55,9 cm, lebar 55,9 cm dan tinggi 55,9 cm.
Menurut Imam Al-Rafi’i, 2 kulah itu sama dengan 176,245 liter. Ukuran baknya panjang 56,1 cm, lebar 56,1 cm dan tinggi 56,1 cm.
Menurut Imam Al-Bagdadi, 2 kulah itu sama dengan 245,325 liter. Ukura baknya panjang 62,4 cm, lebar 62,4 cm dan tinggi 63,4 cm.

Jenis air dalam wudlu :

1) Air muthlaq atau biasa disebut air thohur (air yang suci dan mensucikan), yaitu air yang tetap seperti kondisi asalnya seperti air sungai, air salju, air embun, air sumu, air laut. kecuali jika air-air tersebut berubah karena begitu lama dibiarkan atau karena bercampur dengan benda yang suci sehingga air tersebut tidak disebut lagi air muthlaq (misal air susu, kopi, teh dll).

2) Air Najis (Mutanajis) , yaitu air yang tercampur najis dan berubah salah satu sifatnya (warna, bau, rasa).

Dari Abu Umamah Al-Bahiliy Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ الْمَاءَ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ إِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ

“Sesungguhnya air tidaklah dinajiskan oleh sesuatu pun selain yang mempengaruhi bau, rasa, dan warnanya.”

Air jenis ini tidak boleh digunakan untuk berwudlu

3) Air Musta'mal, yaitu air yang jatuh dari anggota wudlu orang yang berwudlu. Atau gampangnya kita sebut air musta’mal dengan air bekas wudhu. Untuk air jenis ini terdapat perbedaan pendapat apakah boleh digunakan atau tidak untuk berwudlu. Namun lebih baik tidak digunakan terutama air yang kurang dari dua kulah.

4) Air Musyammas, yaitu air yang terkena matahari.
Komisi Fatwa di Saudi Arabia, yaitu Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanyakan mengenai hal ini, lalu para ulama yang duduk dalam komisi tersebut menjawab:
لا نعلم دليلا صحيحا يمنع من استعمال الماء المشمس.

“Kami tidak mengetahui satu dalil shahih yang melarang menggunakan air musyammas (air yang terkena terik matahari).”


Tata Cara Meng-Qadla Sholat

Tata Cara Qadla Sholat - Dalam menjalani hidup kita sebagai orang islam dituntut menjalankan kewajiban kita sebagai kewajiban yang harus dijalankan, salah satunya adalah sholat fardhu'. Tentunya ada syarat dan rukun tertentu dalam menjalankan sholat dan juga ada beberapa kaidah tentang kemudahan tatkala kita mempunyai udzur, yaitu dengan mengqadha'nya. 


Definisi Ada' adalah menjalankan ibadah di dalam waktunya. Sedangkan Qadla adalah menjalankan ibadah setelah lewat waktunya. Seseorang yang mengakhirkan sholat hingga lewat waktunya, ada kalanya kerana uzur seperti tidur, ada halangan yang sangat kuat atau lupa, dan ada kalanya karena tanpa udzur seperti sengaja, menunda-nunda atau alasan yang tidak diakui secara agama.

Bagaimana hukumnya seseorang yang mengakhirkan sholat hingga habis waktunya?
Menurut mayoritas ulama, sholat yang ditinggalkan hingga habis waktunya, baik karena disengaja atau tidak, wajib di-qadla. Artinya sholat yang ditinggalkan tersebut wajib diulang. Bagi yang meninggalkannya dengan sengaja, itu termasuk perbuatan maksiat, selain mengulang juga harus diiringi dengan taubat dan istighfar.

Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sholat yang ditinggalkan wajib di-qadla adalah sbb.:
1. Ayat perintah sholat dalam Qur'an " وأقيموا الصلاةyang artinya "Dirikanlah Sholat" disebutkan dengan tanpa menyebut waktu, maka artinya perintah sholat tersebut menunjukkan wajib melaksanakan sholat di dalam waktunya atau di luar waktunya.

2. Hadist riwayat Bukhari dan Muslim;" Anas bin Malik, Rasulullah bersabda :"Barang siapa tertidur dan meninggalkan Sholat, maka hendaklah ia bergegas Sholat ketika ingat". Dalam riwayat Muslim disebutkan tambahan redaksi"Tidak ada tebusan kecuali itu".
"Ketika inga" juga menunjukkan bahwa kewajiban melaksanakan sholat yang ditinggalkan adalah mutlak, baik sengaja atau tanpa sengaja.

3. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra.: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika kembali dari peperangan Khaibar, berjalan pada malam hari bersama para sahabat, dan ketika beliau merasakan kantuk, memerintahkan para sahabat untuk berhenti dan beristirahat dan berkata pada Bilal "Berjaga-jagalah malam ini", kemudian Bilal shalat beberapa rekaat dan berjaga-jaga. Rasulullah SAW tertidur bersama para sahabat, dan ketika mendekati waktu fajar, Bilal bersandar pada kuda tunggangannya sambil menghadap pada arah fajar, Bilal merasakan kantuk dan akhirnya tertidur, tak satupun dari para sahabat terbangun hingga panas matahari mengenai mereka, yang pertama kali bangun adalah Rasulullah SAW, terkejut dan berkata pada Bilal, "Hai Bilal", kemudian Bilal menjawab "telah menimpa padaku seperti yang menimpa padamu ya Rasul"(kantuk). Kemudian Rasulullah SAW berkata pada para sahabat "Tambatkan tunggangan kalian", kemudian para sahabat melakukannya. Rasulullah SAW berwudlu dan memerintahkan pada Bilal untuk beriqomat, kemudian Rasulullah bersama para sahabat shalat (qadla) berjamaah dan ketika selesai shalat Rasulullah SAW bersabda "Barangsiapa lupa mengerjakan shalat, maka kerjakanlah shalat ketika Ia mengingatnya, dan sesungguhnya Allah SWT telah berfirman "Dirikanlah shalat untukmengingat-Ku".

Hadist tersebut menujukkan bahwa Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya melakukan qadla sholat karena ketiduran dan tanpa sengaja. Tanpa sengaja meninggalkan sholat telah diwajibkan qadla, apalagi meninggalkan dengan sengaja tentu lebih diwajibkan.

4. Sholat yang ditinggalkan menjadi hutang dan tanggungan. Ini juga berlaku pada ibadah-ibadah yang lain, manakala telah wajib di pundak kita maka itu adalah tanggungan dan kewajiban kita sampai kita melaksanakannya. Kalau kita tidak melaksanakannya, itu adalah hutang yang harus kita bayar. Dalam hadist yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim diriwayatkan seorang lelaki datang kepada Rasulullah s.a.w. menanyakan perihal ibunya yang meninggal dan punya hutang puasa,apakah ia harus menggantinya? Rasulullah s.a.w. menjawab: "Ya, hutang Allah lebih berhak untuk dibayar".
Dalam riwayat lain dari Bukhari Muslim juga diceritakan bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah s.a.w. menanyakan perihal ibunya yang telah bernadzar untuk haji, namun keburu meninggal, apakah ia harus menebuh nadzar tersebut? Rasulullah s.a.w. menjawab:"Behajilah untuknya, bukankah kalau ibumu mempunyai hutang, kamu wajib membayarnya? Maka bayarlah hutang itu dan Allah lebih berhak untuk dibayar.

Hadist-hadist tersebut menunjukkan bahwa ibadah yang wajib kepada kita kalau ditinggalkan menjadi hutang kita kepada Allah. Cara membayar hutang tersebut adalah dengan melaksanakannya meskipun di luar waktunya.

5. Hutang bani Adam yang terkait dengan waktu, tidak akan gugur meskipun waktu tersebut habis. Begitu juga hutang kita kepada Allah tidak akan gugur meskipun waktunya habis. Apalagi hutang Allah tidak menerima ampunan atau maaf.

6.Para ulama sepakat bahwa hutang puasa Ramadhan wajib dibayar di luar Ramadhan, baik karena sengaja atau udzur. Maka hutang sholat juga demikian logisnya.

Wajib qadla shalat yang ditinggalkan, merupakan pendapat empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali dan berdasarkan perintah dan tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. terssebut di atas. Para ulama sepakat bahwa sholat yang ditinggalkan dengan tanpa sengaja seperti karena tidur, wajib di qadla.

Sebagian ulama seperti riwayat dari Imam Ibn Taymiyah, Ibn Hazmin, ia juga diamalkan oleh Umar alKhattab, Ibn Umar, Umar abd Aziz, Ibn Sirin, dan lain-lain mengatakan sholat yang ditinggalkan dengan sengaja tidak wajib qadla dan cukup dengan taubat dan solat sunat yang banyak untuk menggantikannya. Pendapat ini dilandasi pada pemahaman tekstual dari hadist di atas bahwa hadist tersebut menyebutkan bahwa Rasulullah s.a.w. melakukan qadla karena meninggalkan sholat tanpa sengaja yaitu ketiduran. Kalau meninggalkannya dengan sengaja adalah masalah baru yang tidak dapat dimasukkan dalam hadist tersebut. Pendapat ini juga mengatakan bahwa mereka yang meninggalkan sholat dengan sengaja telah melakukan kekafiran dan keluar dari Islam. Maka baginya hanya satu jalan yaitu taubat dan masuk Islam kembali dan tidak qadla karena saat ia meninggalkan sholat sudah masuk kafir.

Pendapat ini tentu saja banyak ditentang para ulama karena dianggap sangat kaku menafsirkan redaksi hadist qadla di atas. Orang kafir yang masuk Islam kembali, tidak berarti mengugurkan dari hutang-hutangnya. Seperti orang muslim yang murtad tidak berarti menggugurkan hutang-hutangya. Hutang Allah lebih berat dari hutang manusia, seperti disinggung di atas.

Tata Cara Qadla Sholat

Tata cara qadla sholat adalah sama seperti sholat tersebut dilakukan di dalam waktunya. Hanya saja niatnya dibedakan, yaitu bagi yang mengucapkan niat dengan kata "qadlaa'an" sebagai ganti "adaa'an". Urutannya juga demikian, diurutkan sesuai urutan sholat lima waktu.

Sholat yang ditinggalkan saat bepergian, apabila diqadla masih saat bepergian maka dapat melakukannya seperti saat bepergian, misalnya dengan qashar. Tetapi apabila menqadlanya setelah sampai dirumah atau setelah muqim, pelaksanaanya diharuskan sempurna dan tidak boleh diqashar.

Melaksanakan sholat qadla diharuskan untuk segera, karena itu hutang. Hutang sebaiknya segera dibayar saat kita punya uang untuk membayarnya. Begitu sholat seharusnya segera kita laksanakan manakala kita sempat. Mengakhirkan sholat qadla hanya diperbolehkan kalau ada alasan atau udzur yang kuat.

Qadlla sholat yang ditinggalkan dan tidak diketahui jumlahnya
Mereka yang meninggalkan sholat baik sengaja atau tidak dan tidak mengetahui jumlahnya, maka wajib bagi dia untuk melakukan qadla sholat yang dia tinggalkan. Kalau tidak tahu jumlahnya, maka ia cukup melakukan qadla sejumlah yang ia yakini dan diiringi dengan taubat dan memperbanyak sholat sunnah. 

Selasa, 19 Februari 2013

Kisah Cinta Sayyidina Ali dan Sayyidah Fathimah Azzahra

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.



Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibni ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.

Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.

’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.

”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.

Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah,

’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak dari ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”

”Aku?”, tanyanya tak yakin.

”Ya. Engkau wahai saudaraku!”

”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”

”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya?

Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan?, Bagaimana lamaranmu?”

”Entahlah..”

”Apa maksudmu?”

”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban?"
Wahai ali... satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”

Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:

Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”
(kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)

Senin, 11 Februari 2013

Kajian Fiqih, Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa


Di dalam mempelajari cara puasa ada beberapa hal terpenting yang harus kita hadirkan terlebih dahulu sebelum membahas permasalahan di seputar puasa :

1. Definisi puasa

Puasa menurut bahasa adalah : menahan diri dari sesuatu baik dari makanan atau berbicara. Menurut bahasa arab orang menahan diri untuk tidak berbicara juga disebut berpuasa. Adapun puasa menurut agama adalah : menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya mulai dari terbitnya fajar sodiq (masuknya waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (masuknya waktu maghrib)

2. Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa :

 Jika kita perhatikan dari definisi puasa di situ disebutkan hal-hal yang membatalkan puasa. Maka dari itu menjadi sesuatu yang amat penting dalam ilmu puasa adalah mengetahui hal-hal yang membatalkan puasa. Hal-hal yang membatalkan puasa ada sembilan (9) yaitu :

1. Memasukan sesuatu kedalam lima (5) lubang, yaitu :

a. Mulut, Hukum memasukkan sesuatu kelubang mulut adalah membatalkan puasa. Untuk memudahkan pemahaman kita maka hukum memasukkan sesuatu ke lubang mulut ini ada empat hukum yaitu :

1) Membatalkan : Yaitu disaat kita memasukan sesuatu kedalam mulut kita dan kita menelannya dengan sengaja saat kita sadar kalau kita didalam puasa. Jadi yang menjadikannya batal adalah karena menelan dengan sengaja. Maka dari itu jika ada orang memasukkan permen atau es krim kedalam mulutnya maka hal itu tidak membatalkan puasanya asalkan tidak di telan.

Catatan masalah ludah, Didalam masalah ini ada hal yang perlu kita perhatikan yaitu masalah ludah. Ludah itu jika kita telan tidak membatalkan puasa kita dengan syarat :

• Ludah kita sendiri

• Tidak bercampur dengan sesuatu yang lainya

• Ludah masih berada di tempatnya (mulut)

Maka disaat syarat-syarat diatas terpenuhi maka jika ludah itu ditelan tidak membatalkan puasa. Bahkan jika seandainya ada orang yang mengumpulkan ludah didalam mulutnya sendiri dan setelah terkumpul lalu di telan maka hal itu tidak membatalkan puasa. Akan tetapi menelan ludah akan membatalkan puasa jika salah satu syarat diatas ada yang tidak terpenuhi, seperti karena dia menelan ludahnya orang lain, atau menelanmludah yang sudah bercampur dengan sesuatu seperti permen, es krim atau makanan yang masih tersisa didalam mulut kita atau menelan ludah yang sudah dikeluarkan dari mulutnya lalu di minum maka itu semua membatalkan puasa.

Catatan masalah sisa makanan di dalam mulut. Sisa makanan di mulut maka ada dua macam:

• Jika sisa makanan dimulut kemudian bercampur dengan ludah dengan sendirinya dan susah untuk dipisahkan maka jika di telan tidak membatalkan puasa. Misalnya orang yang sahur lalu tidur dan tidak sempat kumur atau sikat gigi lalu menduga didalam mulutnya ada sisa–sisa makanan. Maka jika sisa makanan tersebut sudah tidak bisa lagi di bedakan dengan ludah maka hal itu tidak membatalkan puasa jika di telan.

• Jika ada sisa makanan yang bisa dipisahkan dari ludah lalu bercampur dengan ludah dan bercampurnya karena dikunyah dengan sengaja atau digerak-gerakan agar bercampur kemudian ditelan, maka hal itu membatalkan puasa. Seperti sisa makanan dalam bentuk nasi atau biji-bijian yang bisa dibuang akan tetapi justru dikunyah lalu ditelan maka hal itu membatalkan puasa.

2) Makruh (dilarang akan tetapi tidak dosa jika dilanggar) : Dihukumi makruh jika kita memasukan sesuatu kedalam mulut tanpa kita telan hanya untuk main-main saja.

Contohnya ketika ada seseorang yang sedang berpuasa kemudian dia dengan sengaja memasukkan permen atau es krim kedalam mulutnya tanpa menelannya maka hukumnya makruh dan tidak membatalkan puasa dan jika tiba-tiba tanpa disengaja permen yang ada dimulutnya tertelan maka batal karena dia telah main–main atau melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan.

3) Mubah (boleh dilakukan dan tidak dilarang) : Dihukumi mubah yaitu ketika seorang juru masak mencicipi masakannya dengan niat untuk membenahi rasa. Maka disamping hal itu tidak membatalkan puasa hal yang demilkian itu juga bukan pekerjaan yang makruh. Akan tetapi hal itu boleh-boleh saja. Dalam hal ini bukan hanya juru masak saja yang diperkenankan akan tetapi juga siapapun yang lagi memasak. Akan tetapi dengan catatan tidak boleh ditelan.

4) Sunnah (dianjurkan dan ada pahalanya) : Dihukumi sunnah yaitu ketika kita  berkumur-kumur didalam berwudhu. Maka disaat itu disamping tidak membatalkan puasa, berkumur dalam wudhu tetap disunnahkan biarpun dalam keadaan puasa dengan catatan tidak boleh di telan. Bahkan jika tertelan sekalipun tanpa sengaja maka tidak membatalkan puasa. Karena berkumur dalam wudhu adalah hal yang dianjurkan, maka jika seandainya tanpa disengaja ternyata air yang kita gunakan untuk berkumur tersebut tertelan asalcara berkumur kita wajar maka hal itu tidak membatalkan puasa kita.

b. Hidung

Memasukan sesuatu kedalam lubang hidung membatalkan puasa jika kita memasukan sesuatu sampai pada batas bagian dalam hidung. Adapun batasan dalam hidung adalah bagian yang jika kita memasukkan air akan terasa panas (tersengak) maka disitulah batas dalam yang jika kita memasukkan sesuatu ketempat tersebut akan membatalkan puasa yaitu hidung bagian atas yang mendekati mata kita. Adapun hidung di bagian bawah yang lubangnya biasa di jangkau jemari saatmmembuang kotoran hidung, jika kita memasukkan sesuatu ke bagian tersebut hal itu tidak membatalkan puasa asal tidak sampai kebagian atas seperti yang telah kami jelaskan.

c. Telinga

Menjadi batal jika kita memasukan sesuatu kedalam telinga kita. Yang dimaksud dalam telinga adalah bagian dalam telinga yang tidak bisa dijangkau oleh jari kelingking kita saat kita membersihkan telinga. Jadi memasukkan sesuatu ke bagian yang masih bisa dijangkau oleh jari kelingking kita hal itu tidak membatalkan puasa baik yang kita masukkan itu adalah jari tangan kita atau yang lainya. Akan tetapi kalau kita memasukkan sesuatu melebihi dari bagian yang di jangkau jemari kita seperti korek kuping atau air maka hal itumembatalkan puasa. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama. Dan ada pendapat yang berbeda yaitu pendapat yang diambil oleh Imam Malik dan Imam Ghozali dari madzhab Syafi’i bahwa :

“Memasukan sesuatu kedalam telinga tidak membatalkan” akan tetapi lebih baik dan lebih aman jika tetap mengikuti pendapat kebanyakan para ulama yaitu pendapat yang mengatakan memasukkan sesuatu ke lubang telinga adalah membatalkan puasa.

d. Jalan depan (alat buang air kecil)

Memasukan sesuatu kedalam lubang kemaluan adalah membatalkan puasa walaupun itu adalah sesuatu yang darurot seperti dalam pengobatan dengan memasukkan obat ke lubang kemaluan atau pipa untuk mengeluarkan cairan dari dalam bagi orang yang sakit. Termasuk memasukan jemari bagi seorang wanita adalah membatalkan puasa. Maka dari itu para wanita yang bersuci dari bekas buang air kecil harus hati-hati jangan sampai saat membersihkan sisa buang air kencing (beristinja) melakukan sesuatu yang

membatalkan puasa. Bagi wanita yang ingin beristinja hendaknya hanya membasuh bagian yang terbuka di saat ia jongkok saja dengan perut jemari dan tidak perlu memasukan jemari kebagian yang lebih dalam, karena hal itu akan membatalkan puasa. Lebih dari itu ditinjau dari sisi kesehatan justru tidak sehat kalau cara membersihkan kemaluan adalah dengan cara membersihkan bagian yang tidak terlihat di saat jongkok sebab yang demikian itu justru akan membuka kemaluan untuk kemasukan kotoran dari luar.

e. Jalan Belakang (alat buang air besar)

Memasukkan sesuatu ke lubang belakang sama hukumnya seperti memasukkan sesuatu ke jalan depan. Artinya jika ada orang memasukkan sesuatu kelubang belakang biarpun dalam keadaan darurat dalam pengobatan adalah membatalkan puasa termasuk memasukkan jemari saat istinja (bersuci dari bekas buang air besar). Maka cara yang benar dalam istinja adalah cukup dengan membersihkan bagian alat buang air besar dengan perut jemari tanpa harus memasukkan jemari ke bagian dalam.

2. Muntah dengan sengaja

Muntah dengan sengaja adalah membatalkan puasa baik dilakukan dengan wajar atau tidak, baik dalam keadaan darurat atau tidak. Seperti dengan sengaja mencari bau yang busuk lalu di ciumi hingga muntah atau memasukkan sesuatu kedalam mulutnya agar bisa muntah. Berbeda jika muntah yang terjadi karena tidak di sengajamaka hal itu tidak membatalkan puasa kita dengan syarat :

• Kita tidak boleh menelan ludah yang ada di mulut kita sehabis muntah sebelum kita mensucikan mulut kita terlebih dahulu dengan cara berkumur dengan air suci. Maka jika disaat kita belum berkumur kemudian kita langsung menelan ludah kita maka puasa kita menjadi batal karena kita telah menelan ludah kita yang telah bercampur dengan najis, sebab muntahan yang keluar dari dalam perut adalah najis dan belum disucikan. Jika ada orang menggosok-gosok gigi kemudian dia itu biasanya tidak muntah maka disaat dia gosok gigi tiba-tiba muntah maka tidak batal, akan tetapi jika dia tahu kalau biasanya setiap menggosok gigi akan muntah maka hokum menggosok gigi yang semula tidak haram menjadi haram dan jika ternyata benar-benar muntah maka puasanya menjadi batal.

Jika ada orang yang kemasukan lalat sampai melewati tenggorokannya kemudian dia berusaha untuk mengeluarkannya maka menjadi batal karena sama saja seperti muntah yang disengaja. Berbeda dengan dahak, jika seseorang berdahak maka hal itu dimaafkan dan tidak membatalkan puasa akan tetapi dahak yang sudah keluar melewati tenggorokan tidak boleh ditelan dan itu membatalkan puasa. Batas tenggorokan adalah tempat keluarnya huruf “KHO”

3. Bersenggama

Melakukan hubungan suami istri itu membatalkan puasa. Yang dimaksud bersenggama adalah jika seorang suami telah memasukkan semua bagian kepala kemaluanya kelubang kemaluan sang istri dengan sengaja dan sadar kalau dirinya lagi puasa maka saat itu puasanya menjadi batal (dalam hal ini sama hubungan yang halal atau yang haram seperti zina atau melalui lubang dubur atau dengan binatang). Adapun bagi sang istri biarpun yang masuk belum semua bagian kepala kemaluan sang suami asal sudah ada yang masuk dan melewati batas yang terbuka saat jongkok maka saat itu puasa sang istri sudah batal. Dan batalnya bukan karena bersenggama tapi masuk dalam pembahasan batal karena masuknya sesuatu ke lubang kemaluan. “Bagi suami yang membatalkan puasanya dengan bersenggama dengan istrinya dosanya amat besar dan dia harus membayar karafat”  dengan syarat berikut ini :

a. Dilakukan oleh orang yang wajib baginya berpuasa

b. Dilakukan di siang bulan puasa

c. Dia ingat kalau dia sedang puasa

d. Tidak karena paksaan

e. Mengetahui keharomannya atau dia adalah bukan orang yang bodoh

f. Berbuka karena bersenggama

Dan bagi orang tersebut dikenai hukuman :

1. Mengqodho puasanya

2. Membayar kafarat (denda)

Kafarat (denda) bersenggama di siang hari bulan ramadhan adalah :

a. Memerdekakan budak

b. Puasa selama dua bulan berturut-turut

c. Memberikan makan kepada 60 fakir miskin dengan syarat makanan yang bisa digunakan untuk zakat fitrah. Denda yang harus dibayar salah satu saja dengan berurutan. Jika tidak mampu bayar A maka bayar B jika tidak mampu bayar C.

4 Keluar mani dengan sengaja

Maksudnya adalah mengeluarkan mani dengan sengaja dengan mencari sebab keluarnya mani. Contohnnya : ketika ada orang yang tahu bahwa jika dia mencium istrinya atau dia dengan sengaja menyentuh kemaluannya dengan tangannya sendiri atau dengan tangan istrinya bakal keluar mani maka puasanya menjadi batal karena keluar mani tersebut dengan sengaja.

Akan tetapi tidak menjadi batal jika seandainya keluar mani tanpa disengaja seperti bermimpi bersenggama dan di saat terbangun benar-benar menemukan air mani di celananya maka yang seperti itu tidak membatalkan puasa.

5. Hilang akal

Hilang akal di bagi menjadi tiga bagian yaitu :

a. Gila : Sengaja atau tidak disengaja gila itu membatalkan puasa walaupun sebentar.

b. Mabuk dan Pingsan :

• Jika disengaja maka mabuk dan pingsan membatalkan puasa biarpun sebentar. Seperti dengan sengaja mencium sesuatu yang ia tahu kalau ia menciumnya pasti mabuk atau pingsan.

• Jika mabuk dan pingsannya adalah tidak disengaja maka akan membatalkan puasa jika terjadi seharian penuh. Tetapi jika dia masih merasakan sadar walau hanya sebentar di siang hari maka puasanya tidak batal. Misal mabuk kendaraan atau mencium sesuatu yang ternyata menjadikannya mabuk atau pingsan sementara ia tidak tahu kalau hal itu akan memabukkan atau menjadikannya pingsan. Maka orang tersebut tetap sah puasanya asalkan sempat tersadar di siang hari walaupun sebentar.

c. Tidur : Tidak membatalkan puasa walaupun terjadi seharian penuh.

6. Haid

Membatalkan puasa walaupun hanya sebentar sebelum waktu berbuka. Misal haid datang 2 menit sebelum masuk waktu maghrib maka puasanya menjadi batal.

7. Melahirkan

Melahirkan adalah membatalkan puasa baik itu mengeluarkan bayi atau mengeluarkan bakal bayi yang biasa disebut dengan keguguran. Misal seorang ibu hamil sedang berpuasa tiba-tiba melahirkan di siang hari saat berpuasa, maka puasanya menjadi batal.

8. Nifas

Nifas juga membatalkan puasa. Misalnya ada orang melahirkan ternyata setelah melahirkan tidak langsung keluar darah nifas. Karena ia mengira tidak ada nifas akhirnya ia berpuasa dan ternyata di saat ia lagi puasa darah nifasnya datang maka saat itu puasanya batal.

9. Murtad.

Murtad atau keluar dari Islam membatalkan puasa. Misalnya ada orang lagi berpuasa tiba-tiba ia berkata bahwa ia tidak percaya kalau Nabi Muhammad adalah Nabi atau adaorang lagi berpuasa tiba-tiba menyembah berhala maka puasanya menjadi batal.

Tatacara Shalat Meminta Hujan (Istisqa’), Niat, Do'a

Di Indonesia atau mungkin negara-negara lain pasti ada saat dimana musim kemarau dan terjadi kekeringan, khususnya di indonesia di bagian kalimantan, jawa, atau papua yang sering sekali terjadi kekeringan. Tentunya  Islam sudah memberikan beberapa solusi dan ajaran untuk menghadapi musibah ini yaitu dengan Sholat Istisqa' atau sholat meminta hujan, dibawah ini adalah beberapa tatacara, do'a dan hadits2 tentang sholat istisqa'.

 

Shalat Meminta Hujan (Istisqa’)

Isitisqa’ adalah memohon kepada Allah swt turunnya hujan karena kebutuhan hidup atas air sangat mendesak. Dengan demikian shalat istisqa’ berarti shalat yang dilakukan dalam rangka memohon hujan kepada Yang Maha Kuasa. Shalat Istisqa hukumnya sunnah muakkadah berdasarkan hadits nabi :

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم يستسقي فجعل الى الناس ظهره واستقبل القبلة وحول رداءه

Rasulullah saw. keluar meminta hujan, beliau memunggungi jama’ah dan menghadap kiblat, mengubah posisi selendangnya, (HR. Muslim)

Sebelum melaksanakan shalat istisqa’ diharapkan semua jama’ah memperbanyak istighfar. Memohon ampunan kepada Allah swt atas segala dosa yang telah dilakukannya. Karena dosa-dosa inilah yang menjauhkan kaum dari rahmat-Nya (diajuhkan dari hujan, didatangkan keprihatianan, paceklik dan berbagai macam cobaan menakutkan lainnya). sebagaimana diterangakan dalam al-Isra ayat 16:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.

Oleh karena itulah sebaiknya jama’ah memperbanyak amal saleh, sedekah dan berdamai dan saling memaafkan. Semua itu disunnahkan agar dilakukan selama tiga hari berturut-turut menjelang shalat isitisqa’ dalam keadaan berpuasa. Pada hari keempatnya di pagi hari ketika matahari telah terbit dilaksanakanlah shalat istisqa’ dan masih dalam ke adaan berpuasa. Karena do’a dalam keadaan berpuasa memiliki nilai lebih.

Aisyah berkata : "Rasulullah saw melaksanakan shalat Istisqa’ ketika sinar matahari telah terlihat.” (HR. Abu Daud dan Al Hakim mensahihkannya).

Shalat isitisqa’ harus dilaksanakan dengan penuh khidmat, keprihatinan dalam keadaan memelas dan merendahkan diri serendah rendahnya kepada Allah swt. tidak boleh banyak bicara baik ketika perjalanan, duduk maupun menunggu. Semua harus dilakukan dengan sangat khusyu’ dan hening. Sebagaimana dilakukan Rasulullah saw

أنه عليه الصلاة والسلام خرج متبذلا متواضعا متضرعا حتى أتى المصلى

adapun niat shalat ini adalah  

أصلى سنة الإستسقاء ركعتين مأموما لله تعالى

Shalat ini dilakukan dua rakaat ditanah lapang, pada rakaat pertama bertakbir sebanyak 7 kali dan 5 kali pada rakaat kedua atau seperti melaksanakan shalat hari Raya. Imam hendaklah membaca surat Al ‘Ala pada rakaat pertama dan surat Al Ghasiyah pada rakaat kedua. Setelah shalat, imam membaca dua khutbah. Khutbah pertama diawali dengan bacaan istighfar 9 kali dan khutbah kedua diawali dengan bacaan istighfar 7 kali.

Usai Khutbah imam membaca doa diaminkan oleh jama’ah, kemudian menghadap kiblat memindahkan kain sebelah kanannya kesebelah kiri dan kain sebelah kirinya ke sebelah kanannya dengan diikuti oleh semua jama’ah. Hal ini sebagai penanda akan bergantinya keadaan dari keprihatinan menjadi kebahagiaan, dari kekeringan menjadi ke segaran, dari kesempitan menuju ke luasan.  Demikianlah berdo’a dilakukan dengan amat khusyu’ hingga akhir. Perlu diketahui bahwa dalam shalat Istisqa tidak ada adzan dan iqamat.

Sabtu, 09 Februari 2013

Hukum Percikan Air Saat Musim Hujan, Kajian Fiqih

Kajian Fiqih - untuk anda warga jakarta dan sekitarnya, pasti sudah tidak asing dengan hujan apalagi saat sekarang yang mana banjir ada dimana-mana. Namun dengan datangnya hujan dan banjir tentu saja tidak menghalangi kita untuk tetap menjalankan kewajiban sebagai umat beragama, misalnya Sholat Fardhu'.


Seiring dengan datangnya musim hujan, banyak ruas jalan yang tergenangi air hujan maupun lumpur, sehingga disaat sedang mengendarai sepeda motor atau ketika sedang berjalan kaki  percikan air maupun lumpur tersebut mengenai pakaian yang kita kenakan. Bagaimanakah hukum pakaian tersebut?

Islam adalah agama pembawa rahmat bagi seluruh umat manusia, terkhusus bagi umat muslim. Kaitanya dengan masalah pakaian, Islam sangat menganjurkan umatnya untuk berhati-hati dalam menjaga kesucian pakaian dari najis, karena hal ini berpengaruh terhadap sah dan tidaknya shalat, baik yang menempel pada pakaian, badan maupun tempat shalat.

Namun demikian Islam juga memperhatikan kemudahan, agar tidak terjadi kesulitan. Oleh karena itu, ada beberapa najis yang dimaafkan, karena sulit dihilangkan ataupun dihindari.  Sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab Al-Wajiz (Syarhul Kabir) karya Imam Al-Ghazali.

قال الغزالي : يُعْذَرُ مِنْ طِيْنِ الشَّوَارِعِ فِيْمَا يَتَعَذَّرُ الإِحْتِرَازُ عَنْهُ غَالِبًا

Imam Al-Ghazali berkata: Pakaian yang terkena percikan lumpur maupun air dijalan karena sulitnya menghindarkan diri darinya, maka hal ini dimaafkan.

Kemudian jika percikan air maupun lumpur tersebut diyakini mengandung najis, misalnya genangan air tersebut adalah luapan dari got ataupun comberan yang najis. Maka hal ini juga dimaafkan jika memang percikan tersebut sedikit. Seperti pendapat Imam Ar-Rafi’I dalam kitabnya Al-Aziz Syarhul Wajiz.

وَأَمَّا مَا تَسْتَيْقِنُ نَجَاسَتَهُ فَيُعْفَى عَنِ القَلِيلِ مِنْهُ. وأمَّا الكَثِيْرُ فَلاَ يُعْفَى عنهُ كَسَائِرِ النَّجَاسَاتِ

Jika diyakini jalan tersebut ada najisnya, maka hukumnya dimaafkan jika percikan tersebut hanya sedikit, namun jika percikan tersebut banyak maka tidak dimaafkan, sebagaimana hukumnya najis-najis yang lain.

Alasan kenapa najis yang sedikit diatas dimaafkan, karena akan memberatkan jika harus diperintahkan untuk segera mencuci pakaian yang terkena percikan tersebut. Padahal ia hanya membawa satu pakaian dan juga ia harus memenuhi kebutuhan hidupnya.  

Lafadz Niat Dan Tatacara Sholat Rawatib (Qabliyah, Ba'diyah) Maghrib Dan Isya'





Lafadz Niat Dan Tatacara Sholat Rawatib Maghrib Dan Isya' - berikut ini adalah beberapa dalil hadits dan tatacara sholat qabliyah dan ba'diyah maghrib dan isya', diantara shalat sunnah yang dianjurkan (sunnah muakkadah) adalah dua rakaat sebelum shalat magrib sebagai Sunnah Qabliyah dan dua rekaat setelahnya sebagai Sunnah Ba’diyah. Begitu pula dengan shalat isya (dua rakaa’t sebelumnya dan sesudahnya). Hal ini berdasar pada hadits riwayat bukhari muslim
Bahwasannya Rasulullah saw shalat dua rakaat sebelum dan sesudah dhuhur,dua rakaat sesudah magrib dan dua rakaat sesudah isya dan dua rakaat setelah shalat jum’ah.

Adapun dua rakaat sebelum maghrib disunnahkan dengan dalil hadits Rasulullah saw yang berbunyi:

"صلوا قبل المغرب" قال صلى الله عليه وسلم فى المرة الثالثه "لمن شاء "

“Shalatlah dua rakaat sebelum magrib” demikian kata nabi hingga tiga kali dan yang terakhir beliau tambahi “bagi yang mau”

Perkataan “bagi yang mau” adalah pertanda bahwa shalt itu tidaklah wajib. Demikian pula untuk dalil dua rakaat sebelum isya. Qabliyah magrib sebaiknya dilakukan dengan sesegera mungkin setelah adzan berkumandang. Menimbang waktu shalat magrib sangatlah pendek.

Dari Abdullah bin Mughaffal Al Muzani dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ قَالَهَا ثَلَاثًا قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ

“Di antara setiap dua adzan (azan dan iqamah) itu ada shalat (sunnah).” Beliau mengulanginya hingga tiga kali. Dan pada kali yang ketiga beliau bersabda, “Bagi siapa saja yang mau mengerjakannya.”

Dalam kitab nIhayatuz zain dijelaskan secara mendetail bacaan yang disunnahkan untuk ba’diyah magrib. Yaitu pada rakaat pertama setelah al-fatihah membaca surat al-Kafirun dan pada rakaat kedua al-Ikhlash. Shalatlah dengan tenang dan agak lama sehingga para jama’ah yang lain telah bubar meninggalkan lokasi.

Adapun Niat Shalat Sunnah Qabliyah Maghrib

 اُصَلِّيْ سُنَّةَ اْلْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلِيَّةً مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ اَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى

Usholli sunnatal maghribi  rok'ataini qabliyyatan mustaqbilal qiblati adaa-an lillaahi ta'aala.

Aku niat melakukan shalat sunat sebelum maghrib 2 rakaat, sambil menghadap qiblat, saat ini, karena Allah ta'ala.

Niat Shalat Sunnah Ba’diyah Maghrib

اُصَلِّيْ سُنَّةَ اْلْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ بَعْدِيَّةً مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ اَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى

 Usholli sunnatal maghribi rok'ataini ba'diyyatan mustaqbilal qiblati adaa-an lillaahi ta'aala.

Aku niat melakukan shalat sunat sesudah  maghrib  2 rakaat, sambil menghadap qiblat, saat ini, karena Allah ta'ala.

Niat Shalat Sunnah Qabliyah Isya’

اُصَلِّيْ سُنَّةَ الْعِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلِيَّةً مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ اَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى

Usholli sunnatal 'isyaa-i rok'ataini qabliyyatan mustaqbilal qiblati adaa-an lillaahi ta'aala.

Aku niat melakukan shalat sunat sebelum isya 2 rakaat, sambil menghadap qiblat, saat ini, karena Allah ta'ala.

Niat Shalat Sunnah Ba’diyah Isya’

اُصَلِّيْ سُنَّةَ الْعِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ بَعْدِيَّةً مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ اَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى

Usholli sunnatal 'isyaa-i rok'ataini ba'diyyatan mustaqbilal qiblati adaa-an lillaahi ta'aala.

Aku niat melakukan shalat sunat sesudah isya 2 rakaat, sambil menghadap qiblat, saat ini, karena Allah ta'ala.

Demikian artikel tentang tatacara dan lafadz-lafadz niat dalam sholat sunnah rawatib, semoga bermanfaat dan dapat diamalkan dengan penuh keyakinan kepada Allah SWT.

Hadits Dan Tatacara Shalat Sunnah Rawatib, Qabliyah dan Ba'diyah Dhuhur


Hadits Dan Tatacara Shalat Sunnah Rawatib, Qabliyah dan Ba'diyah Dhuhur - ada empat kategaori shalat sunnah. Pertama shalat sunnah muaqqat (shalat sunnah yang ditentukan waktunya) seperti shalat dhuha, witir, syuruq, zawal, shalat ied dan rawatib (sesudah dan sebelum shalat fardhu). Kedua shalat sunnah karena telah terjadi sesuatu (dzu sababin mutaqaddimin) misalnya shalat tahiyyatul masjid, shalat sunnah wudhu, shalat sunnah hifdhil qur’an, istisqa’ dan lain sebagainya. Ketiga shalat sunnah karena menginginkan sesuatu (dzu sababin mutaakhhirin) seperti shalat istikhoroh, shalat taubah, sebelum ihram. Keempat, shalat sunnah muthlaq yaitu shalat yang tidak tergantung oleh sebab maupun waktu.

Sebagai permulaan dakan diterangkan terlebih dahulu Shalat sunnah muaqqat yaitu shalat sunnah yang ditentukan waktunya. Diantaranya adalah shalat sunnah rowatib yaitu shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu. Termasuk di dalamnya shalat sunnah qabliyah dan ba’diyah. Dinamakan qabliyah karena shalat sunnah ini dilakukan sebelum shalat fardhu. Dan dikatakan ba’diyah arena shalat ini dilakukan setelah shalat fardhu. Baik qabliyah dan ba’diyah sebaiknya dilakukan sendiri-sendiri dan tidak dianjurkan berjama’ah.

Adapun shalat sunnah yang mengiringi shalat dhuhur. Ada qabliyah dan ba’diyah. Shalat sunnah qabliyah dhuhur empat rakaat dilakukan sebelum shalat dhuhur dengan cara dua kali salam, yaitu sekali shalat dua rekaat. Hal ini berdasar pada tindakan Rasulullah saw yang selalu melaksanakan dan jarang sekali meninggalkannya itupun sebagai petunjuk bagi umatnya bahwa empat rakaat sebelum dan sesudah dhuhur hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang dianjurkan sekali).

مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ

Sebuah hadis "Barangsiapa melaksanakan empat reka'at sebelum Dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, maka Allah mengharamkan baginya api neraka." (H.R. Tirmizi)

Adapun bacaan niatnya adalah:

اُصَلِّيْ سُنَّةَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلِيَّةً مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ اَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatad dhuhri rok’ataini qabliyatan mustaqbilal qiblati ada’an lillahi ta’ala

Artinya: Aku niat shalat qabliyah dhuhur dua raka’at menghadap kiblat karena Allah.

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa ba’diyah dhuhur juga empat raka’at, yang dilakukan selepas shalat dhuhur dengan dua kali salam. Adapun bacaan niatnya sebagai berikut:

 اُصَلِّيْ سُنَّةَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ بَعْدِيَّةً مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ اَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatad dhuhri rok’ataini ba’diyyatan mustaqbilal qiblati ada’an lillahi ta’ala

Artinya: Aku niat shalat qabliyah dhuhur dua raka’at menghadap kiblat karena Allah.

Demikian pula ketika shalat Jum’at, empat raka’at sebelum dan sesudahnya tetap menjadi sunnah muakkadah, sebagaimana shalat dhuhur.  

Rabu, 06 Februari 2013

Ilmu Tajwid, Pengertian Dan Contoh Idghom, Ikhfa, Idzhar

Sahabat pembaca setia mutiara hikmah, pada kesempatan ini kami mencoba memberikan penjelasan tentang ilmu dasar dalam membaca al-qur'an yang lazim dikenal dengan ilmu tajwid. Dibawah ini akan membahas hukum mim sukun, dari mulai Idghom, Ikhfa', dan Idzhar.


HUKUM MIM SUKUN

Hukum Mim sukun dibagi menjadi 3 macam, antara lain:

Idghom Mitsli (Idghom Mimi)
Artinya: apabila ada Mim sukun bertemu dengan Mim

Contoh:

كُنْتُمْ مُسْلِمِيْنَ ( مْ – م )

Ikhfa’ Syafawi
Artinya: apabila ada Mim sukun bertemu dengan Ba’

Contoh:

تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ ( مْ – ب )

Idzhar Syafawi
Artinya: apabila ada Mim sukun bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah selain Mim dan Ba’

Contoh:

هُمْ نَا ئِمُوْنَ ( مْ – ن )                   اَمْ لَمْ تُنْدِ رْ هُمْ ( مْ – ت )

الخ ……..

HUKUM IDGHOM

Hukum Idghom dibagi menjadi 3 macam, antara lain:

Idghom Mutamatsilain
Artinya: jika ada huruf yang sama, yang pertama sukun dan yang kedua hidup.

Contoh:

اِضْرِ بْ بِعَصَا كَ ( بْ – بِ )

Idghom Mutajanisain
Dinamakan Idghom Mutajanisain jika TA sukun bertemu THA, THA sukun bertemu TA, TA sukun bertemu DAL, DAL sukun bertemu TA, LAM sukun bertemu RA, DZAL sukun bertemu ZHA.

Contoh:

(تْ- ط )   قَالَتْ طَا ئِفَة ٌ         ( طْ- ت )  لَئِنْ بَسَطْتَ            ( تْ- د )  اَثْقَلَتْ دَ عَوَا

( دْ- ت )   قَدْ تَبَيَّنَ                ( لْ- ر )  قُلْ رَبِّ                  ( ذْ- ظ )   اِذْ ظَلَمُوْا

Idghom Mutaqorribain
Dinamakan Idghom Mutaqorribain jika TSA sukun bertemu DZAL, QAF sukun bertemu KAF, BA sukun bertemu MIM.

Contoh:

( ثْ- ذ )  يَلْهَثْ ذ لِكَ             ( قْ- ك )  اَلَمْ نَخْلُقْكُمْ             ( بْ- م ) يبُنَيَّ ارْ كَبْ مَعَنَا

Demikian beberapa penjelasan dan contoh singkat tentang Idghom, Ikhfa', dan Idzhar semoga menambah sedikit wawasan tentang ilmu tajwid, untuk penjelasan dan ulasan lebih lanjut bisa ikuti artikel selanjutnya di kategori Ilmu Tajwid.

Mengungkap Tabir Manfaat Sholat Fardhu Diawal Waktu



Mengungkap Tabir Manfaat Sholat Fardhu Diawal Waktu - berikut ini adalahg beberapa manfaat dibalik sholat fardhu dan pahalanya. Barang siapa yang mengerjakan sholat fardhu diawal waktu maka :

1. Ia akan di cintai Allah
2. Badannya akan sehat
3. Keberadaannya di jaga malaikat
4. Rumahnya di berkahi Allah
5. Wajahnya akan menampakan jati dirinya yg shalih
6. Hatinya akan lembut
7. Ia akan melewati shirothol mustaqim seperti kilat
8. Ia akan selamat dari siksa neraka
9. Ia akan di tempatkan Allah di surga.
(Ustman bin Affan)

Saat terindah bagi seorang pecinta adalah ketika ia bertemu, bercengkrama, dan berdialog dengan orang yang dicintainya. Ketika itu, segala beban hidup dan kenistapaan akan hilang seketika. Bagi orang beriman, bertemu Allah lewat shalat adalah saat yang paling dinantikan, karena pada waktu itulah ia bisa mencurahkan semua isi hati dan bermi'raj menuju Allah.

Selasa, 05 Februari 2013

Sejarah KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi Surabaya

KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi Surabaya

KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi

KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya.

Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.

Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun. Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani.

Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.

Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun.

Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam.

Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun.

Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.

Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.

Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.

Sejarah Al-Quthb Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin Abdurrahman Assegaf

Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin Abdurrahman Assegaf

Manaqib Al-Quthb Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin Abdurrahman Assegaf

Nasab beliau yang mulia

Beliau adalah Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad dan terus bersambung nasabnya hingga sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Beliu dilahirkan di kota Sewun, Hadramaut, pada bulan Jumadil Akhir Tahun 1331 H. Beliau dibesarkan oleh kedua orangtuanya yang sholeh sehingga sejak kecil beliau telah dihiasi dengan hidayah dan ketakwaan.

Ayah beliau, Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf, adalah seorang imam yang dihiasi dengan keindahan budi pekerti yang luhur ilmu yang luas dan amal yang soleh. Al-Habib Ali bin Muhammad Al habsyi pernah berkata bahwa Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman adalah Imam Wadil Ahqof (Hadramaut).

Ibu beliau adalah As-Syarifah Alawiyah binti Al-Habib Ahmad bin Muhammad Aljufri. Beliau adalah seorang wanita yang sholihah dan suka pada kebajikan. Ketika ibu beliau sedang mengandung dan melahirkan bayi laki-laki, bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir atas isyarat dari Al-Habib Ali bin Muhammad Al habsyi, tetapi tidak lama kemudian bayi tersebut meninggal dunia. Ketika As-Syarifah Alawiyah melahirkan bayi laki-laki untuk yang kedua kalinya, Al-Habib Ali juga mengisyaratkan agar bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir. Al-Habib Ali mengatakan bahwa bayi ini kelak akan menjadi orang yang mulia yang mengabdikan hidupnya untuk taat kepada Allah dan menjadi seorang yang dihiasi dengan ilmu, amal dan ihsan.

As-Syarifah Alawiyah meninggal dunia pada tanggal 29 Rajab 1378 H bersamaan dengan hari wafatnya Al-Habib Salim bin Hafidh Bin Syekh Abubakar bin Salim (kakek dari Al-Habib Umar Bin Hafidh). Sedangkan Al-Habib Ahmad (ayah dari Al-Habib Abdul Qodir) meninggal dunia pada sore hari, Sabtu, tanggal 4 Muharram 1357 H, setelah menunaikan shalat ashar pada usia 79 tahun, sedangkan Al-Habib Abdul Qodir saat itu baru berusia 25 tahun.

Masa kecil beliau

Sejak kecil beliau tumbuh berkembang dalam lingkungan ilmu pengetahuan, ibadah dan akhlak yang tinggi yang ditanamkan dan sekaligus dicontohkan oleh ayah beliau yang sholeh Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaqof. Dan memang demikianlah keadaan kebanyakan keluarga-keluarga Alawiyin di Hadramaut pada masa itu. Keadaan ini sangat mendukung para orangtua untuk mencetak kader-kader ulama dan shulaha’ (orang-orang baik) karena anak-anak disana pada masa itu selain dididik oleh orang tua, lingkungan juga ikut membentuk mereka. Keikhlasan dan kebersihan hati menjadi hiasan penduduk disana kala itu. Mereka tidak terkontaminasi dengan budaya dan berbagai macam paham dari luar . Setiap anak meneladani ayahnya dan ayah meneladani kakeknya. Demikianlah seterusnya sehingga asror mereka terwariskan kepada anak cucunya.

Ketika usia Al-Habib Abdul Qodir sudah cukup dan telah tampak kesungguhan niat beliau dalam menuntut ilmu, maka beliau mulai mengikuti pendidikan di luar rumah, karena selama ini beliau hanya belajar dengan ayahnya. Pertama kali beliau mengenyam pendidikan di `Ulmah Thoha, yaitu sebuah pendidikan yang diadakan di masjid Toha yang didirikan oleh datuknya Al-Habib Thoha bin Umar Assaqof di kota Sewun. Adapun guru yang mengajar beliau di tempat tersebut adalah As-Syaikh Thoha bin Abdullah Bahmed. ‘Ulmah Thoha adalah sebuah lembaga pendidikan sederhana yang didirikan atas dasar takwa dan keridhoan Allah, oleh karena itu tempat tersebut telah banyak mencetak orang-orang besar dan tokoh-tokoh ulama pada zaman itu. Di tempat itulah Al-Habib Abdul Qodir bersama anak-anak sebayanya tekun mendalami ilmu qowaidul kitabah, qiroah dan lain-lain, sehingga menjadi kuat dasar-dasar pengetahuannya serta fasih lisannya.

Setelah beberapa waktu kemudian beliau keluar dari ‘Ulmah Thoha dan mencurahkan waktunya untuk lebih banyak duduk dan menimbah ilmu dari ayahnya, sehingga tampak tanda-tanda kemuliaan pada diri beliau. Kemudian atas perintah ayahnya beliau melanjutkan pendidikannya di madrasah An-Nahdhoh Al-`ilmiyah di kota Sewun.

Di madrasah An-Nahdhoh Al-’Ilmiyah ini, Al-Habib Abdul Qodir memperdalam berbagai macam ilmu, seperti ilmu Fiqih, Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, Sastra Arab, Tarikh dan Tahfid Al-Quran. Manhaj madrasah ini adalah at-tazkiah (pensucian), at-tarbiyah (pendidikan) dan at-tarqiyah (keluhuran budi pekerti). Mudir (Kepala Sekolah) An-Nahdhoh waktu itu adalah As-Syaikh Al-Adib Ali Ahmad Baktsir. Asy-Syaikh Ali selalu memperhatikan kemajuan murid-muridnya, sampai-sampai murid-murid yang memiliki kecerdasan dan keunggulan di madrasah, beliau berikan kepada mereka pelajaran tambahan (privat) di rumahnya. Al-Habib Abdul Qodir juga mempelajari ilmu Qiroatus Sab’ah dengan As-Syaikh Hasan Abdullah Baraja’ setelah As-Syaikh Hasan pulang dari Makkah untuk memperdalam ilmu Qiroatul Qur’an.

Selain mendapatkan pengajaran berbagai ilmu di madrasah tersebut, peran ayah beliau, Al-Habib Ahmad, dalam menggembleng beliau cukup besar. Bahkan yang didapatkan Al-Habib Abdul Qodir dari ayahnya lebih banyak daripada yang beliau dapatkan di madrasah. Hari-hari Al-Habib Abdul Qodir penuh dengan kegiatan belajar. Beliau pernah mengatakan bahwa sehari semalam, dalam satu atau dua jalsah dengan ayahnya, beliau bisa mengkhatamkan satu kitab. Dengan demikian waktu beliau menjadi berkah. Dalam waktu yang relatif singkat beliau telah menjadi seorang yang luas pengetahuannya dan luhur budi pekertinya.

Mengajar di Madrasah An-Nahdhoh

Di antara keistimewaan madrasah An-Nahdhoh ini adalah meluluskan lebih awal murid-muridnya yang unggul untuk diperbantukan mengajar di situ. Di antara sekian banyak siswanya, terpilihlah Al-Habib Abdul Qodir untuk diluluskan dan diizinkan mengajar. Tentunya pilihan ini jatuh kepada Al-Habib Abdul Qodir bukanlah sesuatu yang mudah, tapi setelah mengalami proses yang cukup ketat. Ini semua adalah berkat kesungguhan niat beliau dalam belajar dan kegigihan ayah beliau dalam mengembleng, sehingga Al-Habib Abdul Qodir unggul dalam banyak hal di antara teman sebayanya.

Pada suatu saat Al-Habib Abdul Qodir mulai diperintahkan oleh ayahnya untuk mengisi pengajian umum yang biasa diadakan di masjid Thoha bin Umar Ash-Shofi. Dalam penyampaiannya, Al-Habib Abdul Qodir banyak menerangkan hal-hal yang sebelumnya tidak banyak diketahui orang. Dari situlah orang-orang yang hadir tahu bahwa beliau adalah penerus ayahnya dan pewaris sirr para datuknya. Dengan mengajar dan mengisi pengajian itulah, Al-Habib Abdul Qodir telah mencetak santri-santri yang berkualitas yang banyak bersyukur dan menyaksikan keunggulan beliau.

Setelah ayah beliau, Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman, meninggal dunia pada tahun 1357 H, maka para masyayikh dan tokoh Alawiyyin saat itu sepakat bahwa beliaulah penerus sang ayah, karena semua kebaikan yang ada pada diri Al-Habib Ahmad telah diwarisi oleh Al-Habib Abdul Qodir. Saat itu beliau telah berusia 25 tahun. Semenjak itu, Al-Habib Abdul Qodir meneruskan apa-apa yang menjadi kebiasaan ayahnya.

Sebagaimana ayahnya, Al-Habib Abdul Qodir mengisi waktunya dengan belajar dan mengajar, serta menunaikan segala kewajiban. Beliau selalu mengumbar senyum kepada siapa saja yang ditemuinya. Beliau suka menerima tamu dan membantu yang lemah dengan kemampuan yang dimilikinya. Diterangkan dalam kitab At-Takhlis Asy-Syafi, bahwa rumahnya adalah tumpuan para tamu dan beliau tidak pernah membedakan tamu-tamunya. Hampir-hampir terkesan beliaulah satu-satunya orang di kota Sewun yang memuliakan tamu dan gemar membantu orang-orang yang lemah kala itu. Selain itu beliau juga selalu menjaga hubungan silaturrahmi.

Karena ketinggian akhlak beliau itulah, menjadikan semua mata tertuju kepada Al-Habib Abdul Qodir, sehingga banyak orang ingin menimba ilmu darinya. Dimana saja beliau mengajar atau mengisi pengajian, tempat tersebut penuh sesak oleh para hadirin. Setiap apa-apa yang beliau ucapkan, selalu menyentuh hati para pendengarnya.

Di tengah-tengah kesibukannya, Al-Habib Abdul Qodir menyempatkan diri duduk dengan para orangtua, ulama dan para pendidik, untuk membicarakan berbagai macam hal, baik keilmuan ataupun yang lainnya, serta menjalin rasa kasih sayang di antara mereka.

Di rumah beliau terdapat sebuah perpustakaan yang lengkap dan semua kitab tersebut telah dibaca oleh Al-Habib Abdul Qodir di hadapan ayahnya. Semasa hidup ayah beliau, Al-Habib Ahmad, jika mendengar atau melihat sebuah kitab dan kitab tersebut tidak ada dalam perpustakaannya, maka Al-Habib Ahmad menyuruh putranya, Al-Habib Abdul Qodir, untuk membaca dan mencatatnya, dan kemudian disimpan di perpustakaannya itu. Sebagaimana ayah beliau sewaktu mudanya, Al-Habib Abdul Qodir suka membaca buku-buku sastra, sehingga menjadikan beliau seorang yang pandai membuat syair.

Hijrahnya dari Hadramaut

Suatu saat terjadi perubahan negatif pada pemerintahan Yaman Selatan dimana mereka membuat kebijakan-kebijakan dan upaya untuk menghapus tradisi leluhur dan juga melakukan penekanan terhadap ulama. Para tokoh masyarakat diwajibkan melaporkan diri ke kepolisian 2 kali setiap hari saat pagi dan sore. Tidak sedikit dari mereka yang dibunuh. Kenyataan pahit ini mendorong banyak para tokoh ulama disana, di antaranya Al-Habib Abdul Qodir, untuk meninggalkan Yaman demi menyelamatkan agama dan budaya leluhurnya, .

Dengan dibantu oleh seseorang yang dekat dengan pemerintahan, beliau mendapat izin untuk berhijrah ke kota Aden pada tahun 1393 H. Disana beliau mendapatkan sambutan yang luar biasa. Tampak kegembiraan masyarakat Aden dengan kedatangan beliau. Di tengah-tengah kesibukannya berdakwah dan menghadiri majlis-majlis di kota Aden, beliau berupaya untuk berhijrah dari Yaman. Dengan ridho dan pertolongan Allah SWT, sebulan setelah kedatangannya di kota Aden, beliau berangkat menuju Singapura.

Di bandara Singapura, beliau disambut oleh banyak orang dan para tokoh Alawiyin saat itu, di antaranya adalah Al-Habib Muhammad bin Salim Al-Atthas dan As-Sayyid Ali Ridho bin Abubakar bin Thoha Assaggaf. Berbagai majlis diselenggarakan untuk menyambut kedatangan Al-Habib Abdul Qodir. Bahkan rumah tempat beliau tinggal penuh sesak oleh tamu yang ingin mengambil berkah dan menimbah ilmu dari beliau.

Pada bulan Juli 1974 M/1393 H, Al-Habib Abdul Qodir meninggalkan Singapura menuju Jakarta. Di Indonesia beliau juga mendapat sambutan yang hangat dari para ulama dan masyarakat di Jakarta. Tokoh Alawiyin yang mendampingi kunjungan beliau di Jakarta antara lain As-Sayyid Salim bin Muhammad Al-Aidrus, Al-Habib Muhammad bin Umar Maulakheilah, Al-Habib Muhammad bin Ali Alhabsyi (Kwitang), As-Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Jawwas, As-Sayyid Abdurrahman bin Ahmad Assaggaf, Al-Ustadz Hadi bin Sa’id Jawwas, dan lain-lain. Al-Habib Abdul Qodir menghadiri majlis taklim Al-Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi yang diadakan setiap hari Minggu pagi di Kwitang dan berbagai majlis lainnya di Jakarta.

Pada tanggal 13 Jumadil Tsani 1393 H/Agustus 1974 M, Al-Habib Abdul Qodir berkunjung ke Surabaya. Di Surabaya beliau tinggal di rumah Al-Ustadz Ahmad bin Hasan Assaggaf di Jalan Sambas no. 3. Al-Ustadz Ahmad mengurus segala keperluan dan perjalanan Al-Habib Abdul Qodir ke berbagai kota di Jawa Timur. Selama Al-Habib Abdul Qodir di Surabaya, rumah Al-Ustadz Ahmad penuh dengan tamu yang datang dari berbagai kota. Al-Ustadz Ahmad melayani mereka dengan penuh sabar dan tulus, bahkan menyediakan kendaraan bagi para tetamu yang ingin ikut mengiringi perjalanan Al-Habib Abdul Qodir.

Di setiap tempat yang dikunjungi, Al-Habib Abdul Qodir tidak hanya berdakwah, namun menaruh perhatian besar pada keadaan kaum Alawiyin. Setiap kota yang dimasuki, yang pertama ditanyakan oleh beliau adalah bagaimana keadaan Alawiyyin. Jika ada yang sakit, beliau mengunjunginya. Yang faqir, beliau santuni. Yang berselisih, beliau damaikan. Demikianlah aktivitas beliau sepanjang hidupnya, dimana saja beliau berada hingga akhir hayatnya.

Pada tahun yang sama, Al-Habib Abdul Qodir berhijrah dari Indonesia menuju Hijaz. Berbondong-bondong khalayak melepas kepergian beliau dengan penuh kesedihan dan air mata. Mereka menginginkan Al-Habib Abdul Qodir tetap tinggal di Indonesia. Demikian dalam kesedihan mereka hingga Al-Habib Abdul Qodir menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa beliau akan datang berkunjung kembali ke Indonesia setelah beliau berziarah dan mengungkapkan masalah yang dihadapinya kepada Nabi SAW di kota Madinah.

Guru-guru beliau

Al-Habib Abdul Qodir menimbah ilmu dari banyak guru. Setiap berkunjung ke suatu tempat, beliau menyempatkan diri untuk menggali ilmu dari para ulama dan orang-orang sholeh di tempat tersebut. Di antara guru beliau adalah Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaqoff (ayah beliau), Al-Habib Umar bin Hamid bin Umar Assaqoff, Al-Habib Umar bin Abdul Qodir bin Ahmad Assaqoff, Al-Habib Abdul Bari bin Syaikh Al-Aidrus, Al-Habib Muhammad bin Hadi Assaqof, Al-Habib Sholeh bin Muhsin Alhamid (Tanggul), Al-Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aidrus, dan lain-lain.

Murid-murid beliau

Di antara para murid beliau adalah Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar, Al-Habib Zein bin Ibrahim Bin Smith, Al-Habib Salim bin Abdullah bin Umar Asy-Syathiry, Al-Habib Abubakar Al-’Adany bin Ali Al-Masyhur, As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Al-Habib Abubakar bin Hasan Al-Atthas dan masih banyak lagi yang lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.

Demikianlah Al-Habib Abdul Qodir menghabiskan hari-harinya dengan belajar, mengajar dan membantu kaum yang lemah hingga ajal menjemputnya.

Beliau wafat pada waktu Shubuh, hari Minggu, tanggal 19 Rabi'uts Tsani 1431 (4 April 2010 M) pada usia 100 tahun. Jenazah beliau disholatkan di Masjidil Haram dan disemayamkan di pekuburan Ma’la setelah sholat Isya pada hari yang sama.

Sejarah KH. Muhammad Kholil Bangkalan Madura (Mbah Kholil)

Mbah Kholil Bangkalan

MANAQIB MBAH KHOLIL BANGKALAN (KH. MUHAMMAD KHOLIL)

A. Masa Kecil

Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.

KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.

Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.

Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.


B. Belajar ke Pesantren

Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.

Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.


C. Orang yang Mandiri

Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani.

Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).


D. Ke Mekkah

Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.

Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan kluarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa makan gratis.

Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.

Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.

Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).

Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.

Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.

Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.

Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Mbah Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.

Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang) menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.


E. Ke Tanah Air

Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya), Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.

Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.

Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.

Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.


F. Geo Sosio Politika

Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal luas sebagai ahli tarekat; meskipun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa Mbah Kholil belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi, Martin masih ragu, apakah Mbah Kholil penganut Tarekat tersebut atau tidak?

Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan perlawanan.

Pertama: Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng.

Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil pun tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.

Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.

Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan saja.

Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.

Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristiani. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekkah yang telah berumur lanjut, tentunya Mbah Kholil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya.

Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Mbah Kholil.

Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo).


G. Karomah Mbah Kholil

Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna” yakni guru kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.

Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.

Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:

1. Lebah Gaib

Kekeramatan Mbah Kholil, yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib. Dalam situasi kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

KH. Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November 1945, Mbah Kholil, bersama Kyai-Kyai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.

Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern.

Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan Kyai-Kyai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Disaat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar. Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan.

“Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” Papar KH. Ghozi, cucu KH. Wahab Chasbullah ini.


2. Membelah Diri

Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,” Cerita KH. Ghozi.

Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.

Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan ke Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.

”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” Papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.


3. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika

Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil Bangkalan termasuk salah satu guru Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan oleh penulis buku tersebut sebagai berikut:

“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Mbah Kholil untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.

Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang seraya berkata: "Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian."

Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia sadari sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke makam beliau.


4. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk

Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Mbah Kholil. Sesampainya di rumah Mbah Kholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut sedang mengajarkan kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.

“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam para petani serentak.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ Jawab Mbah Kholil.

Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”

“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata petani dengan nada memohon penuh harap.

Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta-merta Mbah Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.

“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai dengan tegas dan mantap.

“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya.

“Ya sudah,” Jawab Mbah Kholil menandaskan.

Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Mbah Kholil.

Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.

Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil lagi. Tiba di kediaman Mbah Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian.

Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah Kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.


5. Kisah Ketinggalan Kapal Laut

Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Mekkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” Ucap istrinya dengan memelas.

“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.

Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.

Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!” Ucapnya dengan tenang.

“Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus ke sana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.

“Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup pembicaraan.

Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah Kholil, langsung disambut dan ditanya: “Ada keperluan apa?”

Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Mbah Kholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”

Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Mbah Kholil, lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu Mbah Kholil?”

“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya dengan nada putus asa.

“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.

Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Mbah Kholil berucap: “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.”

“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah harapan.

“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Kholil.

“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.

Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.

“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.

“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Mbah Kholil.

Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.

“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,” Dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal.

Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.


6. Belajar Secara Gaib

Mbah Kholil adalah guru utama yang mencetak banyak ulama besar di Jawa Timur. Sampai sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara gaib dengan Mbah Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salah satunya dengan berziarah serta bermalam di makam beliau.

Seperti pernah dikisahkan KH. Anwar Siradj, pengasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab Alfiyah, beliau mengalami kesulitan. Padahal, kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.

KH. Anwar Siradj sudah mencoba berguru kepada Kyai-Kyai besar di hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan Ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), KH. Anwar Siradj dapat petunjuk, agar mempelajari kitab Alfiyah di makam Mbah Kholil.

Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh KH. Anwar Siradj ziarah di makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab Alfiyah. ”Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal Alfiyah,” Jelas Ustadz Salim.

Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah Mbah Kholil meninggal, mengakui kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan pembimbing secara batin.


7. Berguru dalam Mimpi

Pada waktu Mbah Kholil masih muda, ada seorang Kyai yang terkenal di daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk Madura.

Mbah Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Mbah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu. Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kyai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kyai Abu Darrin. Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Mbah Kholil muda segera sowan ke makam Kyai Abu Darrin.

Setibanya di makam Abu Darrin, Mbah Kholil muda lalu mengucapkan salam lalu berkata: “Bagaimana saya ini Kyai, saya masih ingin berguru pada Kyai, tetapi Kyai sudah meninggal,” desah Mbah Kholil muda sambil menangis.

Mbah Kholil muda lalu mengambil sebuah mushaf Al-Quran. Kemudian bertawassul dengan membaca Al-Quran terus-menerus sampai 41 hari lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kyai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kyai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Mbah Kholil muda. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Mbah Kholil muda serta-merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.


8. Didatangi Macan

Suatu hari di bulan Syawal. Mbah Kholil tiba-tiba memanggil santrinya. “Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini,” Kata Mbah Kholil agak serius.

Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditunggu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren seorang pemuda kurus, tidak berapa tinggi, berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.

Sesampainya di depan pintu rumah Mbah Kholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kyai malah berteriak memanggil santrinya: “Hei santri semua, ada macan....macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok,” Seru Mbah Kholil bak seorang komandan di medan perang.

Mendengar teriakan Kyai kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah.

Namun karena tekad ingin nyantri ke Mbah Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya. Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.

Secara tidak diduga, tengah malam Mbah Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Mbah Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Mbah Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Chasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Chasbullah, seorang Kyai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH. Wahab Chasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Mbah Kholil.


9. Santri Mimpi dengan Wanita

Pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa shalat Shubuh berjamaah. Ketidakikutsertaan Bahar shalat Shubuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Mbah Kholil, gurunya.

Menjelang subuh, terdengar Mbah Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap: “Santri kurang ajar.., santri kurang ajar....!”

Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.

Shubuh itu Bahar memang tidak ikut shalat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai shalat Shubuh berjamaah, Mbah Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya: “Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Mbah Kholil dengan nada menyelidik.

Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Mbah Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid.

Mbah Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata: “Bahar, karena kamu tidak hadir shalat Shubuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini,” Perintah Mbah Kholil.

Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik.

“Alhamdulillah, sudah selesai Kyai,” Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.

“Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis!” Perintah Kyai kepada Bahar.

Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Mbah Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Mbah Kholil seraya berucap: “Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini,” Ucap Mbah Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar.

Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Mbah Kholil menuju kampung halamannya. Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Mbah Kholil itu, menjadi Kyai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kyai beruntung itu bernama Kyai Bahar, seorang Kyai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.


10. Orang Arab dan Macan Tutul

Suatu hari menjelang shalat Maghrib, seperti biasanya Mbah Kholil mengimami jamaah shalat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Mbah Kholil mengimami shalat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan shalat, Mbah Kholil menemui tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu.

Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab, Habib menghampiri Mbah Kholil seraya berucap: “Kyai, bacaan Al-Fatihah Antum (Anda) kurang fasih,” Tegur Habib.

Setelah berbasa-basi beberapa saat, Habib dipersilahkan mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat Maghrib. Tempat wudhu ada di sebelah masjid itu. “Silakan ambil wudhu di sana,” Ucap Mbah Kholil sambil menunjukkan arah tempat wudhu.

Baru saja selesai wudhu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya yang fasih, untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga.

Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudhu Mbah Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Mbah Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Mbah Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, sang Habib paham bahwa sebetulnya Mbah Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.


11. Jawaban Mbah Kholil kepada Tamunya

Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maaliki yaumiddin’, Maliki-nya dibaca ‘Maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘Maliki’ (tanpa alif). Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kyai Keramat, Mbah Kholil Bangkalan.

Ketika itu Kyai yang jadi maha guru para Kyai pulau Jawa itu sedang duduk di dalam mushala. Saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushala sontak saja Mbah Kholil berteriak: “Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki yaumiddin Habib,” Teriak Kyai Kholil Bangkalan menyambut kedatangan Habib Jindan.

Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki Yaumiddin ataukah Maaliki Yaumiddin itu. Demikian yang diceritakan Habib Luthfi bin Yahya ketika menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir ath-Thabari.


12. Tongkat Mbah Kholil dan Sumber Mata Air

Suatu hari Mbah Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Mbah Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta-merta Mbah Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah.

Dari arah lobang bekas tancapan Mbah Kholil tadi, memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Kolam yang bersejarah itu sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah Selatan kompleks pemakaman Mbah Kholil Bangkalan.


H. Silsilah Nasab Mbah Kholil

Mbah Kholil (KH. Muhammad Kholil Bangkalan Al-Maduri) adalah titisan beberapa wali yang tergabung dalam Walisongo, Yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, yang mana mereka bermarga “Azmatkhan” dan bersambung pada Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada keluarga Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath Al-Alawi Al-Husaini.

KH. Muhammad Kholil bin KH. Abdul Lathif bin Kyai Hamim bin Kyai Abdul Karim bin Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayyid Ali Nurul Alam bin Sayyid Jamaluddin Al-Kubra.

Berikut ini adalah silsilah nasab Mbah Kholil. Terlebih dahulu saya tulis silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Sunan Kudus, untuk menunjukkan hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga/fam) “Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini”, sesuai dengan adat dan istilah pernasaban bangsa Arab.

Jalur Sunan Kudus

1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Kyai Sulasi. Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Kyai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan.
9. Kyai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan.
10. Kyai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
11. Kyai Khatib. Ada yang menulisnya “Ratib”. Dimakamkan di Pranggan, Sumenep.
12. Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkal). Dimakamkan di Sumenep.
13. Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos). Dimakamkan di Ampel Surabaya.
14. Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus). Dimakamkan di Kudus.
15. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Dimakamkan di Kudus.
16. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri /Raja Pandita). Dimakamkan di Gresik.
17. Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di Tuban.
18. Sayyid Husain Jamaluddin. Dimakamkan di Bugis.
19. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Dimakamkan di Naseradab, India.
20. Sayyid Abdullah. Dimakamkan di Naserabad, India.
21. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Dimakamkan di Naserabad, India.
22. Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
23. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath. Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman.
24. Sayyid Ali Khali’ Qasam. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
25. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
26. Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
27. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman.
28. Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di Hadramaut, Yaman.
29. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman.
30. Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
31. Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
32. Al-Imam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
33. Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
34. Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
35. Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
36. Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimakamkan di Karbala, Iraq.
37. Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti Sayyidina Muhammad Rasulullah. Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah

Maka, dari jalur Sunan Kudus, Mbah Kholil adalah generasi ke-37 dari Rasulullah Saw.

Jalur Sunan Ampel

1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Sayyid Muhammad Khathib (Raden Bandardayo). Dimakamkan di Sedayu Gresik.
11. Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan di Dekat Gunung Muria Kudus. Dalam sebagian catatan nama Musa ini tidak tertulis.
12. Sayyid Qasim (Sunan Drajat). Dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan.
13. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Dimakamkan di Ampel, Surabaya.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Sulasi dan Kyai Sulasi bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Mbah Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.

Jalur Sunan Giri

1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khathib). Dimakamkan di Giri, Gresik.
11. Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri, Gresik.
12. Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Dimakamkan di Giri, Gresik.
13. Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Di sini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khathib bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Giri, Mbah Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.

Jalur Sunan Gunung Jati

1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Syarifah Khadijah.
9. Maulana Hasanuddin. Dimakamkan di Banten.
10. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dimakamkan di Cirebon.
11. Sayyid Abdullah Umdatuddin.
12. Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam.
13. Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Di sini nasab Nyai Khadijah dan Kyai Hamim Kholil bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Mbah Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah Saw.

Jalur Basyaiban

1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Hasanuddin).
9. Sayyid Umar.
10. Sayyid Muhammad.
11. Sayyid Abdul Wahhab.
12. Sayyid Abu Bakar Basyaiban.
13. Sayyid Muhammad.
14. Sayyid Hasan At-Turabi
15. Sayyid Ali.
16. Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.
17. Sayyid Ali.
18. Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Di sini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban bertemu.

Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Mbah Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah Saw.

Demikianlah nasab Mbah Kholil dengan berbagai jalur yang saya dapatkan sampai saat ini, bisa jadi suatu hari nanti kita menemukan nama-nama baru daripada istri-istri jalur laki-laki yang ada itu.

Dalam hal pencatatan nasab, ada satu hal yang cukup membanggakan bagi Kyai-Kyai Jawa dan Madura. Berkat gabungan antara adat Arab dalam menjaga silsilah dan adat Jawa/Madura yang tidak membeda-bedakan garis laki-laki dan perempuan, akhirnya Kyai-Kyai Jawa/Madura banyak yang memiliki silsilah lengkap dari berbagai jalur.

Hal ini pernah ditunjukkan kepada seorang Syeikh dari Yaman, beliau merasa kagum karena banyak jalur perempuan yang juga dicatat dalam silsilah itu selain jalur laki-laki, karena pada umumnya, orang Arab tidak tahu nama-nama kakek-buyutnya yang dari jalur ibu atau jalur nenek, mereka hanya mengenal yang jalur ayah ke atas dengan garis laki-laki.


I. Kiprahnya dalam Pembentukan NU

Peran Mbah Kholil dalam melahirkan NU pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi. Hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, KH. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digarisbawahi bahwa Mbah Kholil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada KH. Hasyim Asy’ari sendiri.

Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang Kyai muda yang cukup ternama pada waktu itu: KH. Wahab Chasbullah. Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalam bidang pendidikan dan politik.

Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kyai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari KH. Hasyim Asy’ari, Kyai yang paling berpengaruh pada saat itu.

Namun, KH. Hasyim Asy’ari awalnya tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, KH. Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.

Sementara itu, Mbah Kholil, guru KH. Hasyim Asy’ari, yang juga guru KH. Wahab Chasbullah, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.

“Saat ini Kyai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya!” Kata Mbah Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat.

“Baik, Kyai,” Jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.

“Bacakanlah kepada Kyai Hasyim ayat-ayat ini: Wamaa tilka biyamiinika yaa Muusaa, Qaala hiya ‘ashaaya atawakka-u ‘alaihaa wa abusyyu bihaa ‘alaa ghanami waliya fiihaa ma-aaribu ukhraa. Qaala alqihaa yaa Muusa. Fa-alqahaa faidzaa hiya hayyatun tas’aa. Qaala Khudzhaa wa laa takhaf sanu’iiduhaa shirathal uulaa wadhumm yadaka ila janaahika takhruj baidhaa-a min ghairi suu-in aayatan ukhraa linuriyaka min aayatil kubraa,” Pesan Mbah Kholil.

As’ad segera pergi ke Tebu Ireng, ke kediaman Kyai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kyai Hasyim. Mendengar ada utusan Mbah Kholil datang, Kyai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya.

“Kyai, saya diutus Kyai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kyai,” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.

“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kyai Hasyim.

“Ada Kyai,” Jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Mbah Kholil.

Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kyai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Mbah Kholil yang tua dan bijak. Kyai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi.

“Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” Kata As’ad. “Kyai juga diminta untuk mengamalkan Yaa Jabbaar, Yaa Qahhaar (lafadz Asma’ul Husna) setiap waktu,” Tambah As’ad.

Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Mbah Kholil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud.

Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”.

Tapi, bagaimana Kyai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Mbah Kholil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Mbah Kholil, seorang Kyai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.

J. Tarekat dan Fiqh

Mbah Kholil adalah salah satu Kyai yang belajar lebih daripada satu madzhab saja. Akan tetapi, di antara madzhab-madzhab yang ada, ia lebih mendalami madzhab Syafi’i di dalam ilmu fiqh.

Pada masa kehidupan Mbah Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain.

Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Mbah Kholil dalam tarekat, terbukti bahwa Mbah Kholil dikenal pertama kali dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dan juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.

Di sisi lain, Mbah Kholil pun diakui sebagai salah satu Kyai yang dapat menggabungkan tarekat dan fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Mbah Kholil.

Memang, Mbah Kholil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Mbah Kholil. Namun demikian, perbedaan antara Mbah Kholil dengan kebanyakan Kyai yang lainnya, bahwa Mbah Kholil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Mbah Kholil justru meletakkan dan menggabungkan antara keduanya (tarekat dan fiqh).

Dalam penggabungan dua hal ini, Mbah Kholil mendudukkan tarekat di bawah fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Mbah Kholil tersebut.


K. Peninggalan

Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya Mbah Kholil. akan tetapi Mbah Kholil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Mbah Kholil di antaranya:

Pertama: Mbah Kholil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Mbah Kholil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti Kyai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebu Ireng), Kyai Wahab Chasbullah (Pendiri Pesantren Tambak Beras), Kyai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kyai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Mbah Kholil, banyak muridnya yang di kemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.

Kedua: Selain Pesantren yang Mbah Kholil tinggal di Madura –khususnya, ia juga meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat.

Mbah Kholil (KH. Muhammad Kholil Bangkalan Al-Maduri), adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren, memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Mbah Kholil, yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan Mbah Kholil.

Beliau wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadhan 1341 H/14 Mei 1923 M.